Sepuluh tahun yang lalu, saya meminjamkan teman saya uang sejumlah RM2 ribu atau sekitar Rp6 jutaan. Jika ia ingin membayarnya hari ini, ia akan membayar hutangnya senilai Rp6 jutaan juga. Padahal, nilai atau daya beli Rp6 jutaan pada sepuluh tahun yang lalu tidak sama dengan nilai atau daya beli Rp6 jutaan yang sekarang. Pada saat itu, nilai uang tersebut memanglah besar. Namun, sekarang uang itu hanya bernilai kecil. Jika emas, Rp6 jutaan pada saat itu dapat dipakai untuk membeli 10 dinar. Namun, sekarang uang itu hanya dapat dipakai untuk membeli dua dinar lebih saja (saat awal buku ini ditulis).
Jika saya memintanya untuk membayar lebih dari itu, hal tersebut dianggap sebagai riba. Haram hukumnya. Namun, jika ia membayar nilai yang sama, maka saya yang akan mendapatkan kerugian. Serba salah jadinya.
Hal ini adalah persoalan biasa kita hadapi, jika hendak meminjamkan uang kepada orang lain. Jika mereka dapat memahami, seharusnya mereka akan membayar lebih daripada nilai uang yang kita pinjamkan dulu. Dan begitulah cara Nabi Muhammad SAW melunaskan hutang. Membayar lebih dari nilai yang kita pinjam.
Namun, masih banyak orang yang belum memahami hal ini. Saya pernah membahas perkara ini dalam buku pertama saya yang berjudul Zero Hutang: Bukan Mudah tapi Tak Mustahil. Dua artikel yang membahas tentang ini: Beri Hutang, Bukan Jalan Membuat Untung dan Langsaikan Hutang Cara Nabi.
Rugi Dalam Meminjamkan Uang Kertas
Saya bertanya kepada Ustadz Dr. Zaharuddin Muhammad, seorang ahli dalam ilmu Islam mu’amalat. Ia berkata bahwa pinjam-meminjam dalam Islam berkonsep ‘ta’awun’, yang bermakna tolong-menolong. Jika kita berkeinginan untuk menolong, niatkanlah untuk memberi. Tidak mengharapkan balasan dari siapapun selain mengharapkan balasan dari Tuhan.
Saya dapat menerima pendapat beliau mengenai hal ini, tetapi saya masih berpikir seperti masih ada hal yang mengganjal tentang perkara ini. Si peminjam akan mendapatkan ‘untung’ pada pengaruh belinya, sedangkan si pemberi pinjaman terpaksa mengalami kerugian dikarenakan daya beli uang kertas yang menyusut dari tahun ke tahun. Bukan saya bermaksud bahwa hukum tersebut salah, tetapi ada yang mengganjal pada sistem keuangan yang digunakan saat ini.
Ketika saya belajar dan paham tentang daya beli emas, saya kembali berpikir, mungkin salah satu penyebab hukum dalam Islam yang tidak mengharuskan umatnya untuk membayar lebih daripada nilai yang telah dipinjamkan yaitu ketika zaman Nabi Muhammad SAW, uang yang mereka pakai adalah emas dan perak (serta barang komoditas seperti gandum, barley, kurma dan garam). Emas bersifat dapat mempertahankan daya beli dari zaman ke zaman. Emas merupakan penyimpan nilai yang paling ampuh dalam sejarah kehidupan manusia.
Jika pada zaman Nabi Muhammad SAW satu dinar emas dapat membeli seekor kambing, pada masa ini pun satu ekor kambing dapat dibeli dengan satu dinar emas juga. Nah, emas dapat mempertahankan daya belinya selama 1440 tahun. Mungkin dikarenakan hal tersebut, si pemberi pinjaman tidak akan mengalami kerugian dari sudut daya beli.
Emas bukan seperti uang kertas yang kita gunakan pada hari ini. Pada tahun 1980-an dulu, uang sebesar 10 sen (sekitar Rp 350) dapat digunakan untuk membeli kue pastel. Pada saat ini, kue pastel dengan ukuran yang sama dapat dibeli dengan harga 50 sen (sekitar Rp 1.750). Uang 50 sen sekarang memiliki daya beli yang sama dengan 10 sen pada tahun 1980-an. Kita memerlukan uang yang lebih banyak untuk mendapatkan barang yang sama. Dengan kata lain, daya beli uang akan semakin menyusut dari tahun ke tahun termakan inflasi.
Merupakan hal yang masuk akal, jika kita meminjamkan satu dinar, si peminjam harus membayar satu dinar juga. Tidak perlu membayar lebih. Walaupun ia membayar 30 tahun yang akan datang, daya beli dinar yang dulu dan sekarang akan tetap sama. Daya belinya bertahan kekal.
Emas Akan Kekal Pengaruh Belinya
Tidak perlu membayar lebih karena si peminjam tidak mengalami kerugian satu pun. Maka saya berpikir, jika hendak meminjamkan ke orang lain, jangan pinjamkan uang tapi pinjamkanlah emas. Terserah baginya sama ada ingin menjual emas itu atau ingin digadaikan saja di Pegadaian. Yang penting adalah ia harus memulangkan emas tersebut dengan kemurnian dan berat yang sama.
Meskipun setelah sepuluh tahun ia baru melunasi hutangnya, kita tidak akan mengalami kerugian karena emas yang ia pulangkan memiliki berat dan kemurnian yang sama. Si peminjam mendapatkan keuntungan dan si pemberi pinjaman tidak pula mengalami kerugian.
Itulah kekuatan emas sehingga emas lebih layak untuk dijadikan sebagai uang daripada sistem uang kertas yang digunakan hari ini. Satu manfaat lain, si peminjam akan cepat-cepat melunasi hutangnya karena harga emas semakin meningkat dalam jangka waktu yang panjang. Ini dapat menghindari masalah si peminjam yang mengakhir-akhirkan pembayaran pinjaman.
Hutang Menyebabkan Permusuhan
Walaupun secara teorinya, memberi pinjaman emas lebih baik daripada memberi pinjaman berupa uang jika si pemberi pinjaman tidak ingin rugi dari sudut nilai uang tersebut. Namun dalam realitanya, setiap orang harus berhati-hati dalam hal meminjam dan berhutang ini. Secara sadar atau tidak, memberi pinjaman hutang itu sebenarnya dapat menyalakan api permusuhan.
Hutang dapat merusakkan hubungan kekeluargaan atau persahabatan untuk jangka panjang selama hutang tersebut tidak terbayarkan. Menurut saya, jika benar-benar ingin menolong, sedekahkan atau hadiahkan beberapa jumlah yang sekiranya mampu diberikan. Jumlah yang selebihnya, sarankanlah si peminjam untuk mendapatkannya dari sumber yang lain. Tindakan yang demikian itu lebih baik untuk menjaga hubungan dalam jangka panjang.